Yakobus 3 ayat 18
Dan buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan damai.
Hidup dalam damai
Surat Jakobus ini merupakan praktik hidup sehari-hari karena berfokus pada bagaimana iman itu tercermin dalam perbuatan. Sebagaimana kitab Jakobus 2 ayat 26 mengatakan, "Sebab iman tanpa perbuatan adalah mati." Oleh karena itu yang menjadi pertanyaan memang bagaimana menghadirkan kedamaian? Sebabnya menghadirkan kedamaian itu bukanlah hal yang gampang. Di tengah-tengah situasi jemaat yang beragam latar belakang dan kepentingan. Oleh karena itu, menghadirkan kedamaian merupakan satu hikmat dari atas dari Allah. Tentu berbeda dengan hikmat dari bawah di mana orang penuh dengan iri hati, ambisi, keegoisan. Sedangkan hikmat dari atas adalah lemah lembut pengertian, dan penuh belas kasihan. Salah satu contoh orang yang beriman itu adalah penggunaan lidah dalam kehidupan sehari-hari yang sering sekali menuai banyak akibatnya. Jika kita bergosip memfitnah tanpa mempedulikan perasaan orang lain atau kita mengira itu tidak berdampak apa-apa, kita terlalu menyederhanakan pikiran kita. Padahal justru lidah yang kecil dapat menghancurkan sebuah negara.
Dengan lidah kita bisa memulai peperangan ataupun mengakhiri peperangan. Jadi, Jakobus ini mengajak kita untuk melatih lidah untuk menghadirkan kedamaian dengan membicarakan kebaikan dan kebenaran saja. Kebenaran hanya akan tumbuh dari lingkungan yang penuh dengan kedamaian, bukan dari lingkungan yang penuh dengan perselisihan. Dengan kata lain, perdamaian adalah tanah ataupun wadah yang subur untuk menanamkan kebenaran. Agar kebenaran itu mampu berbuah dan berkembang. Dengan ber menjadi pembawa damai, kita sudah ikut serta dalam pekerjaan Allah untuk menegakkan kebenaran di dunia. Menjadi pembawa damai tidak seperti tukang pos yang hanya mengirimkan surat tetapi tidak ikut membacanya, tetapi menjadi duta perdamaian yang tidak hanya menyewarakannya, tetapi juga harus mempraktikkannya. Marilah kita melihat ke sekitar kita sekarang adalah sudah banyak apakah sudah banyak kedamaian itu di hati kita? Apakah sudah ada damai di tengah-tengah keluarga, di tengah-tengah rumah tangga, di tengah-tengah jemaat, di teman sekantor atau di lingkungan sekitar kita? Mari kita renungkan bersama. Apakah kita memang pembawa damai atau justru kita menjadi pelaku yang membuat perselisihan? Kita harus berusaha mendekatkan diri kepada Allah agar kita selalu terjauhkan dari emosional yang tidak terkontrol. Jika pada hari ini kita sedang mungkin memiliki perselisihan dengan tetangga, sebaiknya yang kita mendengarkan firman hari mulailah lebih dahulu untuk menyapa dan mengampuni dan membalasnya dengan kebaikan. Sebab seperti Yakobus katakan tadi, lebih penting iman seseorang tercermin dari perbuatannya daripada dia hanya sekedar tahu mana yang lebih baik, tetapi tidak melakukannya. Contoh lain, ketika kita mendengar gosip atau percakapan negatif, kita bisa memilih untuk tidak terlibat dan tidak menyebarkannya. Satu hal yang menarik yang dapat kita soroti dari firman Tuhan hari ini adalah kebenaran memiliki hubungan erat dengan kedamaian. Sering sekali kita sulit mengukur kebenaran dari sisi Allah dengan kebenaran dunia. Tetapi sekarang kita menjadi tahu bahwa kebenaran yang sesungguhnya adalah benar hanya apabila diikuti oleh kedamaian. Jadi jika kebenaran itu tidak diikuti oleh kedamaian, maka itu bukan kebenaran. Terakhir, bagaimana kita mengutamakan hikmat dalam mengambil keputusan di tengah-tengah konflik. Kita harus mengutamakan kehendak Allah, yaitu perdamaian daripada kepentingan sepihak. Dan kita membangun budaya rekonsiliasi. Sebagaimana gereja harus menjadi tempat nyaman dan kondusif bagi semua jemaatnya. Jangan ada yang merasa tidak nyaman dan tidak kondusif. Mungkin kita pernah mendengar nama Desiderius Erasmus, seorang teolog yang terkenal dengan pemikirannya tentang perdamaian. Menurutnya, kedamaian bukan konsep abstrak, melainkan langkah nyata yang dimulai dari kesediaan kita untuk bertobat dan membersihkan hati lalu melangkah melintasi tembok pemisah, budaya ataupun bangsa. Dengan begitu ia memandang semua orang sebagai saudara, ini akan menjadikan kita lebih menempatkan diri sebagai orang yang lebih ya menempatkan diri kita sebagai orang lain daripada kepentingan diri kita sendiri. Akhirnya selamat berdamai dengan diri kita sendiri, dengan teman sekitar kita, terlebih dengan Tuhan. Tuhan memberkati firman-Nya.
Pdt. Natal Nael Ginting
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=cqxkPdpy27I




